Tuesday, October 28, 2014

Pertemuan 4 [Logika Induktif dan Deduktif] (15/10/2014)

Logika Induktif dan Deduktif

Logika Induktif

Logika induktif = cara kerja ilmu pengetahuan yang bertolak dari sejumlah proposisi tunggal/partikular tertentu untuk menarik kesimpulan umum tertentu.
Atas dasar fakta dirumuskan kesimpulan umum.
Kesimpulan = generalisasi fakta yang memperlihatkan kesamaan.
Namun kesimpulan umum harus dianggap sebagai bersifat sementara. Karena ciri dasar induktif selalu tidak lengkap.
Persamaan logika induktif dengan deduktif = argumentasi keduanya terdiri dari premis -premis yang mendukung kesimpulan.
Perbedaan: penalaran induksi yang tepat akan punya premis -premis benar tapi kesimpulan salah, karena argumentasi penalaran induktif tidak membuktikan kesimpulan benar. Premis hanya menetapkan kesimpulan berisi suatu kemungkinan.
Maka argumentasi dalam penalaran induksi tidak dinilai sebagai sahih/valid atau tdk sahih/invalid, tapi berdasarkan probabilitas.

Cara Logika Induktif

Proses induksi mulai berdasar kejadian - kejadian, gejala tertentu.
Penal induksi = proses penalaran berdasarkan pengertian tertentu/premis untuk menghasilkan pengertian umum/kesimpulan.
Tiga ciri penalaran induktif:
1) Premis penal induktifproposisi empiris yang ditangkap indera
2) Kesimpulan dalam penalaran induksi lebih luas daripada apa yang dinyatakan dalam premis
3) Meski kesimpulan tak mengikat, tapi manusia menerimanya.
Jadi konklusi induksi mempunyai kredibilitas rasional probabilitas.

Generalisasi Induktif

Arti: Proses penalaran berdasarkan pengamatan atas gejala dengan sifat tertentu untuk menarik kesimpulan tentang semua.
Prinsip: Apa yang terjadi beberapa kali dalam kondisi tertentu dapat diharapkan akan selalu terjadi bila kondisi yang sama terpenuhi.
Tiga syarat membuat generalisasi:
1) Tidak terbatas secara numerik, tidak boleh terikat pada jumlah tertentu
2) Tidak terbatas secara spasio temporal, harus berlaku dimana saja
3) Dapat dijadikan dasar pengandaian.

Analogi Induktif

Analogi = bicara tentang dua hal yang berbeda dan dibandingkan.
Dua hal perlu diperhatikan: persamaan dan perbedaan.
Bila memperhatikan persamaan saja, maka timbul analogi.
Maka analogi induktif – proses penalaran untuk menarik kesimpulan tentang kebenaran suatu gejala khusus berdasarkan kebenaran gejala khusus yang lain yang punya sifat esensial yang sama.
Kesimpulan analogi induktif tidak bersifat universal tapi khusus.
Contoh:
Mangga 1: kuning, besar, matang, ternyata manis.
  Mangga 2: kuning, besar, matang, ternyata manis.
    Mangga 3: kuning, besar, matang, ternyata manis.
      Mangga 4: kuning, besar, dan matang Ã Kesimpulan tentu manis juga.
Jadi analogi induktif menarik kesimpulan atas dasar persamaan.
Beda dengan generalisasi induktif, dimana konklusinya berupa proposisi  universal.
Penalaran induktif, konklusinya lebih luas daripada premis-premis.

Deduktif

Deduksi sebaliknya juga merupakan suatu proses tertentu dalam proses itu akal budi kita menyimpulkan pengetahuan yang lebihkhususdari pengetahuan yang lebihumum’ .
Yang lebih khusus itu sudah termuat secara implisit dalam pengetahuan yang lebih umum.
Induksi dan deduksi selalu berdampingan, keduanya selalu bersama-sama dan saling memuat
Induksi tidak dapat ada tanpa deduksi. Deduksi selalu di jiwai oleh induksi .
Dalam proses memperoleh ilmu pengetahuan , induksi biasanya mendahuli deduksi . Sedangkan dalam logika biasanya deduksi yang terutama di bicarakan lebih dahulu
Deduksi di pandang lebih penting untuk latihan dan perkembangan pikiran.

Faktor Probabilitas

Kebenaran konklusi dalam logika induktif, baik dalam analogi maupun generalisasi bersifat TIDAK PASTI, karena hanya bersifat mungkin (probable).
Probabilitas = keadaan pengetahuan antara kepastian dan kemungkinan.
Tinggi rendahnya probabilitas konklusi induktif dipengaruhi oleh: 
(1) Faktor Fakta: ‘makin besar jumlah fakta yang dijadikan dasar penalaran induktif, akan makin tinggi probabilitas konklusi dan sebaliknya’.
(2) Faktor Analogi: ‘semakin besar jumlah faktor analogi dalam premis, makin rendah probabilitas konklusinya, dan sebaliknya.’
(3) Faktor Disanalogi: ‘makin besar faktor disanalogi di dalam premis, akan makin tinggi probabilitas konklusinya, dan sebaliknya’.
(4) Faktor Luas Konklusi: ‘semakin luas konklusi, semakin rendah probabilitasnya, dan sebaliknya’.

Kesesatan Generalisasi/Analogi

Tinggi rendahnya probabilitas penalaran ditentukan faktor subjektif. Faktor ini membawa manusia pada kesesatan (fallacy). Kesesatan penalaran induktif yang terpenting adalah:
Tergesa - gesa: terlalu cepat menarik kesimpulan dari beberapa fakta.
Faktor ceroboh:  terlalu cepat tarik kesimpulan tanpa memperhatikan soal kondisi lingkungan.
Contoh: Semua wanita Jawa itu lembut.
Prasangka: memberi penilaian tanpa melihat fakta lain yang tidak cocok.
Contoh: Semua orang Batak bicara keras dan tak sabaran.
Utk menghindarinya: membangun sikap kritis, terbuka pada koreksi dan kritik dari orang lain.

Hubungan Sebab Akibat

Prinsip umum: suatu peristiwa disebabkan oleh sesuatu. Terkandung makna bahwa yang satu (sebab) mendahului yang lain (akibat). Tapi tidak semua yang mendahului sesuatu menjadi sebab bagi yang lain.
Hubungan sebab akibat: hubungan yg intrinsik, artinya hubungan sedemikan rupa sehingga kalau yang satu ada/tidak ada, maka yang lain juga pasti ada/tidak ada.
Tiga pola hub sebab akibat:
1) dari sebab ke akibat
2) dari akibat ke sebab
3) dari akibat ke akibat

Manfaat Belajar Logika Induktif

B. Russel: logika induktif bukan hanya lebih bermanfaat dari logika deduktif, tapi juga lebih sulit.
Manfaat logika induktif: Memberikan pembenaran atas kecenderungan manusia yang bersandar pada kebiasaan.
Memang tdk pernah bisa merasa pasti atas kebenaran suatu kesimpulan induktif, tapi ada cara tertentu dimana kita dapat menekan kemungkinan kesalahan.
Maka, jangan pernah menarik kesimpulan induktif dengan data yang masih minimum, tergesa - gesa, ceroboh dan hanya di landasi prasangka.

Daftar Pustaka

Alex Lanur, OFM,(2013) LogikaSelayang Pandang, Yogyakarta, Kanisius.
W. Poespoprodjo, (1995) Logika Sientifika, Bandung: Ganesa
Sihotang, Kasdin dkk (2012): Critical Thinking. Membangun Pemikiran Logis, Jakarta: Sinar Harapan.

Diambil dari: PPT

Pertemuan 3 [Silogisme] (8/10/2014)

Silogisme

Definisi Silogisme

-Silogisme = suatu simpulan dimana dari dua putusan (premis2) disimpulkan suatu putusan yg baru.
-Prinsip: bila premis benar, maka simpulannya benar.
-Dua macam silogisme: silogisme kategoris dan silogisme hipotetis.

Catatan Untuk Silogisme

Tentukan lebih dulu simpulan. Ciri- ciri nya lewat kata-katakarena itumaka dari situ, dll.
Bila kesimpulan sdh dirumuskantentukan alasannyaAlasan ini menunjuk pada M (Term Menengah).
Bila S dan P sdh diketahui dalam simpulansusunlah silogisme yang terdiri daro 3 bagiansimpulan (S-P), Premis minor (yang mengandung  S dan M), dan premis mayor (titik tolak penalarandimana ada P dan M).

Silogisme Kategoris

Arti: silogisme yang premis dan simpulannya adalah putusan kategoris (pernyataan tanpa syarat).Contoh:
M – P  Perbuatan jahat itu haram. S – M Menghina itu adalah perbuatan jahat.  S – P  Maka, menghina itu haram.
àBila penalaran baik, silogisme memperlihatkan alasan dan dasarnya.

Silogisme kategoris tunggal: mempunyai dua premis, terdiri atas 3 term S, P, M.

Bentuk-bentuk silogisme kategoris tunggal:
(1) M adalah S dalam premis mayor dan P dlm permis minor.

Aturan: premis minor harus sebagai penegasan, sedang premis mayor bersifat umum.
Contoh:
M – P Setiap manusia dapat mati (mayor)
   S – M Aristoteles adalah manusia (minor)
     S – P Jadi, Aristoteles dapat mati (simpulan)
(2) M jadi P dalam premis mayor dan minor.

Aturan: salah satu premis harus negatif. Premis mayor bersifat umum.
Contoh:
P – M Lingkaran adalah bentuk bundar (mayor).
  S – M Segitiga bukan bentuk bundar (minor)
   S – P Segitiga bukan lingkaran (simpulan)
(3) M menjadi S dalam premis mayor dan minor.

Aturan: premis minor harus berupa penegasan  dan simpulannya bersifat partikular.
Contoh:
  M - P Mahasiswa itu orang dengan tugas belajar (Mayor)
    M - S Ada mahasiswa yang orang bodoh (minor)
      S - P Jadi, sebagian orang bodoh itu orang dengan tugas belajar (Simpulan)
(4) M adalah P dalam premis mayor dan S dalam premis minor.

Aturan: premis minor harus berupa penegasan, sedangkan  Simpulan bersifat partikular.
Contoh:
  P – M Influenza itu penyakit (mayor)
    M - S Semua penyakit mengganggu kesehatan (minor)
      S - P  Jadi, sebagian yang mengganggu kesehatan itu influenza (simpulan)

Silogisme Kategoris Majemuk: bentuk silogisme yang premis - premisnya sangat lengkap, lebih dari tiga premis


Epicherema: silogisme yang salah satu/kedua premisnya disertai alasan.
Contoh:
  Semua arloji bermutu adalah arloji mahal, karena sukar pembuatannya.
  Arloji Mido itu adalah arloji baik, karena selalu tepat dan awet.
  Jadi, arloji Mido adalah arloji mahal.

Enthymema: silogisme yang dalam penalarannya tidak mengemukakan semua premis secara eksplisit. Salah satu premis/simpulannya dilampaui, disebut juga silogisme yang disingkat
Contoh:
Jiwa manusia adalah rohani. Jadi, tidak akan mati (versi singkat).
  Versi lengkap: Yang rohani itu tidak akan dapat mati.
  Jiwa manusia adalah rohani.
  Maka, jiwa manusia tidak akan dapat mati.

Polisilogisme: deretan silogisme dimana simpulan silogisme yang satu menjadi premis untuk silogisme yang lainnya.
Contoh:
Seseorang yang menginginkan lebih dari yang dimiliki, merasa tidak puas.

  Seseorang yang rakus adalah seseorg yang menginginkan lebih dari yg dimiliki.

    Jadi, seseorang yang rakus merasa tidak puas.

Seseorang yang kikir merasa tidak puas.

   Budi adalah seseorang yang kikir.

      Jadi, Budi merasa tidak puas.

Sorites: silogisme yang premisnya lebih dari dua. Putusan - putusan itu dihubungkan satu sama lain sedemikian, sehingga predikat dari putusan yang satu jadi subjek putusan berikutnya.
Contoh:
  Orang yang tidak mengendalikan keinginannya, menginginkan seribu satu barang.

    Orang yang menginginkan seribu satu barang, banyak sekali kebutuhannya.

      Orang yang banyak sekali kebutuhannya, tidak tentram hatinya.

        Jadi orang yang tidak mengendalikan keinginannya, tidak tentram hatinya.

Hukum Silogisme Kategoris (tentang isi dan luas S dan P)

Silogisme tidak boleh mengandung lebih dari tiga term (S, M, P). Kurang dari tiga berarti tidak ada silogisme. Lebih dari tiga term artinya tidak ada perbandingan. Ketiga term tetap sama artinya. Dalam silogisme S dan P disatukan oleh perbandingan masing - masing dengan M.
M tidak boleh masuk dalam kesimpulan, karena M berfungsi mengadakan perbandingan dengan term - term.
Term S dan P dalam simpulan tidak boleh lebih luas dari premis - premisnya. Jika S dan P dalam premis partikular, maka dlm simpulan tidak boleh universal.
Bila dilanggar akan terjadi latius hos (menarik simpulan yg terlalu luas).
Contoh:
Semua lingkaran bulat.
Semua lingkaran itu gambar.
Maka, Semua gambar itu bulat. (Simpulan salah).

Diambil dari: PPT